Bagi Harry, inilah kisahnya setelah sekian lama.
Sebelum kehilangan ibunya, Pangeran Harry yang berusia dua belas tahun dikenal sebagai anak periang, si Cadangan yang selalu gembira tanpa khawatir ketimbang si Pewaris yang lebih serius. Kesedihan mengubah segalanya. Dia bergumul di sekolah, bergumul dengan kemarahan, dengan kesepian—dan, karena menyalahkan media atas kematian ibunya, dia bergumul untuk menerima kehidupan yang mendapat perhatian besar dari masyarakat.
Pada usia dua puluh satu, dia bergabung dengan Angkatan Darat Britania. Disiplin ketentaraan membuat hidupnya terstruktur, dan dua tugas tempur menjadikannya pahlawan di kampung halaman. Namun, dia segera merasa lebih kehilangan daripada sebelumnya, menderita stres pascatrauma dan rentan mengalami serangan panik yang melumpuhkan. Yang terpenting, dia tidak bisa menemukan cinta sejati.
Lantas, dia bertemu Meghan. Dunia terhanyut oleh romansa sinematik pasangan ini dan bersukacita atas pernikahan mereka yang bak dongeng. Namun sejak awal, Harry dan Meghan menjadi mangsa media, menjadi sasaran gelombang pelecehan, rasisme, dan kebohongan. Melihat istrinya menderita, keselamatan dan kesehatan mental mereka terancam, Harry tidak melihat cara lain untuk mencegah tragedi terulangnya sejarah selain meninggalkan negara asalnya. Selama berabad-abad, meninggalkan Keluarga Kerajaan adalah tindakan yang hanya segelintir orang berani melakukannya. Orang terakhir yang melakukannya, bahkan, adalah ibunya….
Untuk pertama kali, Pangeran Harry menceritakan kisahnya sendiri, menuliskan dengan kejujuran yang tulus dan gigih. Sebuah publikasi penting, Spare dipenuhi wawasan, pengungkapan, introspeksi, dan kebijaksanaan yang susah payah diperoleh tentang kekuatan abadi cinta atas kesedihan.

PANGERAN HARRY, Duke of Sussex, adalah seorang suami, ayah, humanis, veteran militer, penyokong kesehatan mental, dan aktivis lingkungan. Dia tinggal di Santa Barbara, California, bersama keluarga dan tiga anjingnya.