A Friend's Goodwill
Langit tak terbukti melakukan pembunuhan terhadap Awan. Meski begitu, dia tak lepas dari sangsi sosial dan tuduhan sebagai pembunuh Awan dari teman-teman di sekolah. Tuduhan itu makin kuat setelah video perundungan yang dilakukannya pada Awan viral di Internet.
Setali tiga uang, hubungannya dengan Hari, Iman dan Satria pun kandas.
Dibantu polisi Bram, Langit yang dirundung rasa bersalah pada Awan, berusaha mencari pelaku pembunuhan Awan.
Author | : | DENKUS |
Price | : | Rp 79,000 |
Category | : | FICTION,MYSTERY & THRILLERS |
Page | : | 172 halaman |
Format | : | E-Book |
Size | : | 13 cm X 19 cm |
ISBN | : | 9786230416132 |
Publication | : | 10 November 2023 |
SEMUA telah kuceritakan pada polisi bernama Harris Bramantyo dan rekannya yang menginterogasiku selama dua belas jam tanpa jeda.
Tadi malam, setelah orangtuaku datang dan mendengarkan penjelasan singkat Pak Bram mengenai peristiwa yang menimpa kami berempat, Papa menghubungi Om Hans. Sekitar pukul delapan malam, aku dibimbing masuk ke ruangan ini didampingi Om Hans, teman Papa yang pengacara dan sudah lama kukenal.
Selama interogasi berlangsung, aku merasa terintimidasi oleh pertanyaan-pertanyaan Pak Bram yang menyudutkanku. Polisi itu menanyakan motifku membunuh Awan. Dituding seperti itu membuatku kesal. Berkali-kali polisi itu bertanya dengan gertakan, berkali-kali pula aku menjawab kalau aku tidak membunuh Awan.
Om Hans yang bertindak sebagai penasihat hukum dan pengacara yang membantuku dalam kasus ini, mengatakan kalau gertakan yang dilakukan Pak Bram adalah cara untuk membuatku tertekan. Beliau menyarankan supaya aku menjelaskan dengan konsisten. Ya, penjelasanku memang konsisten. Sebab, bukan aku pelakunya.
Aku tidak membunuh Awan!
Ketika Pak Bram menyinggung perihal perundungan yang dulu kulakukan pada Awan, aku tidak membantahnya. Aku memang pernah merundungnya, tetapi semua itu berakhir sejak kejadian di rooftop—saat Awan menolongku yang nyaris mati. Namun, melihat reaksi Pak Bram, sepertinya dia tidak memercayaiku. Polisi itu terus menatapku tajam.
Apakah polisi memang dilatih untuk selalu curiga dan tidak mudah percaya?
Sayup suara Papa terdengar mendekat. Aku menoleh ke pintu berwarna kelabu yang tertutup rapat. Berjam-jam mendekam di ruang interogasi, membuat dadaku sesak. Bukan karena ruangan yang pengap dan tidak ada pendingin ruangan, melainkan soal peristiwa yang kami alami.
Aku menggeser bokongku yang kebas karena terlalu lama duduk di kursi baja. Terdengar bunyi pintu dibuka. Wajah Papa dan Om Hans muncul. Keduanya bergerak mendekatiku.
“Langit, apa benar kamu memaksa mereka berlibur ke vila karena kamu berencana membunuh Awan di sana?”
Pertanyaan Papa membuatku tersentak kaget. Alih-alih langsung menjawab, aku terpikirkan ketiga teman baikku. Aku merasa, mami Hari mendesak Hari untuk melimpahkan semua kesalahan padaku. Begitu pula dengan Satria. Keduanya didesak untuk berbohong hingga tidak diberi pilihan lain. Iman, aku tidak yakin dia akan menurut begitu saja.
“Langit, ayo bicara. Apa benar kamu memaksa mereka berlibur ke vila karena kamu berencana membunuh Awan di sana?” Papa mengulang pertanyaannya. Suaranya terdengar frustrasi.
Aku menatap Papa lekat-lekat, lantas menggeleng pelan. “Sejak awal, kami berempat sepakat untuk berlibur di vila, Pa. Cuma Awan yang awalnya enggak mau ikut. Tapi, kalau mereka bilang seperti itu, aku terima.”
“Apa maksudmu kamu terima?” Suara Papa terdengar meninggi dari sebelumnya. Gurat kekesalan melingkupi wajahnya yang terlihat lelah.
“Dugaanku benar. Mereka bersekongkol untuk menyalahkan Langit,” kata Om Hans.
“Sialan! Jadi, mereka mau cuci tangan?” Papa lalu menatapku lagi. “Kamu tenang saja. Papa akan segera mengeluarkanmu dari sini. Enak saja mereka mau mengkambinghitamkan anakku.”
“Pa, apa aku bisa lihat Awan?”
“Astaga, Langit! Bukan saatnya kamu memikirkan orang yang sudah mati. Kamu masih belum sadar? Posisimu saat ini sangat rentan. Tiga temanmu kompak menunduhmu.”
“Tapi, aku ingin lihat Awan untuk yang terakhir kalinya, Pa,” pintaku.
“Tidak! Saat ini, kamu harus fokus membersihkan namamu. Sekarang polisi masih melakukan olah TKP. Seandainya saja mereka menemukan sesuatu yang memberatkanmu, Papa takkan membiarkan statusmu berubah. Papa janji tidak akan membiarkanmu berakhir di penjara sendirian.”
Ucapan Papa membuat napasku tertahan. Cara Papa menatapku begitu lembut, membangkitkan rasa aman. Ketulusan Papa membuat mataku perlahan menghangat.
“Sebentar lagi Mamamu datang. Jangan bicara yang aneh-aneh dan fokus saja dengan dirimu saat ini.” Papa lalu berjalan ke arah pintu dan ke luar.
“Ini kasus serius, Langit. Kalau kamu memang tidak membunuh temanmu, fokuslah untuk keluar dari sini. Singkirkan dulu perasaan sentimentalmu yang justru akan merugikanmu. Dengarkan kata Papamu. Om Hans akan mendampingimu sampai kasus ini tuntas.” Om Hans menepuk pelan pundakku dua kali sebelum menyusul Papa meninggalkan ruangan.
Aku tidak membunuh Awan, tetapi bukan berarti aku bisa berhenti memikirkannya. Sungguh, aku ingin melihatnya untuk terakhir kali sebelum dia dimakamkan.
Saat interogasi berlangsung, aku sempat bertanya keberadaan Awan. Namun, Pak Bram tidak mau memberitahuku. Meski aku memohon, polisi itu tidak mengizinkanku keluar dari ruangan ini.
Kata Om Hans, saat ini status tiga temanku dan aku sebagai saksi. Tidak menutup kemungkinan kalau ditemukan bukti yang mengarah pada kami, status saksi akan berubah menjadi tersangka. Atau, mungkin hanya statusku yang berubah mengingat Hari, Satria, dan Iman kompak menudingku? Namun, mengapa Pak Bram memperlakukanku layaknya seorang tersangka?
Sepenuhnya, ketiga temanku tidak bersalah. Rencana berlibur di vila adalah gagasanku—meski mereka menyetujui. Seandainya aku tidak membawa mereka ke vila, saat ini kami tidak akan berada di kantor polisi. Mungkin, sekarang kami sedang ngopi di kafe langganan kami. Seandainya niatan liburan untuk merayakan ulang tahun Awan di vila tidak pernah terjadi, tentu sekarang Awan masih hidup. Seandainya….
Mungkin ini memang salahku. Kalau saja Awan tidak berteman denganku, sekarang dia sedang bersama neneknya di warung nasi, atau sedang mengajar muridnya di sekolah tidak bergedung bernama Sekolah Pinggir Kali. Ya, kalau dipikir-pikir lagi, ini memang salahku.
Sebuah sentuhan lembut kurasakan di kepala. Setelah beberapa saat menempelkan kepala pada permukaan meja baja dan tenggelam oleh rasa bersalah, aku mendongak. Senyum Mama yang khas dan menenangkan membuatku ikut tersenyum, walau kupaksakan.
“Makan dulu.” Mama menarik kursi agar lebih dekat denganku, lalu duduk. “Selama tidak ditemukan bukti yang mengarah padamu, kamu tidak perlu merasa bersalah.” Mama membuka kotak makan yang dia bawa, kemudian mengangsurkan kotak makan itu padaku. “Kamu anak Mama, Langit. Mama yakin sekali kamu tidak akan mampu membunuh temanmu.”
Sentuhan dan tatapan lembut Mama membuatku tenang.
Aku menatap sejenak telur mata sapi dan perkedel di kotak makan. Walau terjebak di ruangan pengap ini lebih dari enam belas jam, aku merasa tidak lapar. Biasanya, setiap melihat dan mencium aroma masakan Mama, nafsu makanku akan mengganas. Anehnya, sekarang aku sama sekali tidak berselera.
“Aku pernah merisak Awan, Ma,” kataku getir.
Mama tersenyum hangat. “Mama tahu. Tapi, kamu sudah menyesali itu, kan? Kamu juga sudah meminta maaf dan bahkan kamu menjadi teman dia. Kamu membantu temanmu itu mengajar anak-anak kurang beruntung, kan? Liburan ke vila di puncak juga atas idemu, kan?”
Mama tahu semua itu karena aku bercerita padanya. “Karena ide bodohku itu, akhirnya Awan mati,” jawabku.
“Sekarang kamu makan dulu. Papamu bilang sejak semalam kamu tidak mau makan.” Mama menunjuk kotak makan dengan lirikannya.
Aku menatap Mama sejenak, sebelum meraih sendok yang Mama ulurkan. Walau kehilangan selera makan, aku memaksakan sesendok nasi bercampur potongan kecil telur dan perkedel masuk ke mulut, lalu mengunyah perlahan.
“Teman-temanmu sudah diperbolehkan pulang,” lanjut Mama. “Tapi, kamu diminta menunggu sebentar lagi.”
Mendengar itu, aku merasa lega. Aku tidak berniat mempertanyakan mengapa polisi masih menahanku di sini, mengingat statusku sebagai saksi. Aku tidak tahu, apakah menahanku di sini adalah salah satu hak Pak Bram sebagai penyidik? Namun, aku dengan senang hati tetap di sini kalau memang ini bisa membantu membuktikan bahwa aku tidak membunuh Awan. Bukan aku pelakunya.
Mama mungkin bingung mengapa aku diam saja. Dia pun bertanya, “Kamu tidak bertanya mengapa cuma kamu yang masih ditahan di sini?”
“Teman-temanku enggak bersalah, Ma. Mungkin Pak Bram masih butuh informasi dariku, makanya dia pengin aku tetap di sini.”
Mama mengelus kepalaku untuk kesekian kalinya. “Kamu sabar, ya. Papa sama Om Hans sedang mengusahakan untuk mengeluarkan kamu dari sini secepatnya.”
Aku mengangguk sambil terus mengunyah, mencoba menikmati masakan Mama yang saat ini terasa hambar di lidahku.
Entah berapa jam kemudian, Pak Bram dan rekannya kembali menginterogasiku.
“Kamu bilang kalau kamu menemukan korban pada jam 15.35. Setelah dilakukan autopsi, kematian korban diperkirakan pada jam 14.00 sampai 15.00. Korban sudah meninggal kurang lebih sembilan puluh menit sebelum ditemukan.” Suara Pak Bram membuat napasku tertahan. “Di tubuh korban hanya ada sidik jari kamu, Satria, dan Iman. Sementara, tidak ditemukan sidik jari Hari, yang menurut kalian bertiga sebagai orang yang pertama kali menemukan korban.”
Pak Bram segera meneruskan, “Kamu melepaskan sweater yang dikenakan korban, lalu membebatkan leher korban dengan maksud menghentikan pendarahan. Setelah itu kamu meminta Iman untuk membantu menggotong korban ke mobil. Sebab, kamu bersikeras korban masih bisa diselamatkan dan ingin membawa korban ke rumah sakit. Namun karena tekanan teman-temanmu, kamu berubah haluan dan membawa korban pulang ke rumah neneknya.”
Aku diam, menyimak penjelasan polisi bergaris wajah keras di seberang meja yang langsung memutarkan ingatan peristiwa itu.
“Setelah menyisir TKP, kami tidak menemukan senjata yang digunakan untuk menikam korban. Seluruh vila sudah kami periksa, tapi kami tidak berhasil menemukan senjata itu. Kami menduga pelaku telah melenyapkan barang bukti. Tidak ada CCTV di vila. Kamera di mobilmu tidak menangkap orang yang mencurigakan. Di kamera mobilmu, kami hanya menemukan rangkaian perjalanan kalian menuju vila dan kembali ke Jakarta membawa korban. Ini konsisten dengan keterangan yang kamu berikan.”
Bukannya merasa lega, aku kesal mendengar penjelasan Pak Bram. Satu-satunya barang bukti yang bisa menyanggah dan membebaskan kami dari kecurigaan malah tidak ditemukan.
“Apa menurut Bapak, kalau saya tetap membawa Awan ke rumah sakit, Awan masih bisa diselamatkan?” tanyaku dengan suara serak.
Alih-alih menjawab pertanyaanku, Pak Bram menatapku lekat-lekat. Lalu, terdengar embusan napasnya yang keras.
Aku merasa mataku menghangat. Pandanganku tidak lepas dari sepasang mata tajam milik Pak Bram.
“Andai saya tetap bawa Awan ke rumah sakit, dia pasti masih hidup, kan?” Suaraku makin serak dan terdengar memelan. “Benar kan, Pak?” Kali ini, rasanya hanya aku yang dapat mendengar suaraku sendiri. Walaupun keterangan Pak Bram tadi sudah menjelaskan tentang waktu kematian Awan, tetapi aku masih berharap kalau aku tetap membawa Awan ke rumah sakit, temanku itu bisa selamat.
Pak Bram bungkam.
Pandanganku kini mengabur. Kemudian, kurasakan aliran air mata di pipiku. Dalam keheningan, aku terisak.
DENKUS mulai aktif di kegiatan fiksi kriminal Indonesia dan memiliki toko buku online yang khusus menjual novel-novel fiksi kriminal. Melalui karakter-karakter di novel-novelnya, dia mencoba memberi semangat pada siapa pun yang merasa kesepian. Kita boleh lelah, tapi tidak boleh menyerah! Karya-karyanya yang lain bisa ditemukan di akun Instagram: @itsdenkus