Deathpologize
Steve selalu mengira dirinyalah yang menyebabkan kekasihnya meninggal. Namun, siapa sangka ternyata selembar kartu pos yang dia temukan di rumah tua yang berada di tengah hutan, membuka tabir mengenai apakah dia benar-benar penyebab kematian kekasihnya.
Author | : | Yoana Dianika |
Price | : | Rp 98,000 |
Category | : | HORROR & SUSPENSE |
Page | : | 240 halaman |
Format | : | Soft Cover |
Size | : | 13 cm X 19 cm |
ISBN | : | 9786230415975 |
Publication | : | 29 November 2023 |
Surabaya, Laboratorium Anatomi
Fakultas Kedokteran
“Steve, masih ingat kalimat ‘mortui vivos docent’ yang pernah Papa tunjukin?”
Anak kecil yang dipanggil Steve mengangguk. Prayoga—papa Steve—pernah membahas kalimat itu ketika Steve membaca ensiklopedia. Mortui vivos docent—‘yang hidup belajar dari yang mati’, begitulah kurang lebih filosofinya. Anak sekecil Steve, yang masih duduk di bangku kelas 3 SD, seharusnya belum paham hal-hal rumit seperti itu. Namun, Steve berbeda dari anak-anak lainnya.
Steve seorang anak genius. Dia dapat memahami hal-hal rumit yang belum dipahami anak-anak seusianya. Rasa ingin tahunya besar. Kedua orangtuanya juga paham bahwa anaknya berbeda.
Sore itu, sepulang Prayoga dari salah satu fakultas kedokteran universitas negeri di Kota Surabaya, Steve memberondongi papanya dengan berbagai pertanyaan. Padahal biasanya dia tidak terlalu tertarik dengan pekerjaan sang papa.
“Papa dari kampus atau dari rumah sakit?” Saat itu Steve mencium aroma aneh di tubuh papanya.
“Dari kampus, Nak.” Papa tersenyum. “Hari ini ada praktik pembedahan kadaver. Sebagai dokter senior, Papa ikut mengamati para mahasiswa yang praktik.
“Pa, Steve juga pengin lihat para calon dokter praktik membedah kadaver.”
Prayoga pura-pura bergidik. Sebagai dokter senior, dia tahu betul bagaimana sebagian besar para mahasiswa baru menjerit-jerit saat ospek ketika harus berhadapan dengan kadaver. Dia juga paham bagaimana para indigo pada awalnya menolak ketika harus bersentuhan langsung dengan kadaver. Prayoga sangat memahami rasa ingin tahu Steve besar, dan anak itu berbeda. Namun, dia tidak yakin mental Steve kuat ketika berhadapan langsung dengan kadaver pada usianya yang masih semuda ini.
“Ini ngeri lho, Nak. Kadaver kan manusia yang sudah meninggal, lalu diawetkan untuk kepentingan praktikum para calon dokter, yang tujuannya buat perkembangan ilmu pengetahuan.”
“Ya, maka dari itu Steve penasaran, Pa. Dengerin cerita Papa, Steve jadi tertarik. Soalnya sumbangsih para calon dokter, para dokter, serta kadaver untuk dunia medis sungguh luar biasa.”
Saat itu Prayoga tertawa. Dia menganggap celoteh Steve hanyalah ocehan anak kecil karena terpengaruh bacaan atau tontonan di televisi, yang bisa berubah sewaktu-waktu sesuai tren. Namun, gelagat Steve sama sekali tidak menunjukkan bahwa ucapannya itu sekadar omong kosong.
Steve tetap merengek ingin ikut papanya mengawasi praktik para calon dokter dengan kadaver. Prayoga menolak dengan berbagai alasan. Namun, Steve bersikukuh dan selalu menagih tiap kali papanya pulang kerja. Hingga pada akhirnya, Prayoga terpaksa meminta izin kepada ketua jurusan untuk mengajak anaknya mengamati praktikum para mahasiswa kedokteran di laboratorium anatomi. Prayoga juga berjanji Steve tidak akan berisik, atau mengganggu jalannya perkuliahan.
Ketika Prayoga mendapat izin, lalu mengabarkannya kepada Steve, bocah laki-laki itu senang bukan kepalang. Steve akhirnya bisa mengamati para mahasiswa kedokteran praktikum di laboratorium anatomi, menganalisis kadaver.
Kalimat dalam bahasa Latin, mortui vivos docent, terpampang di depan laboratorium anatomi. Itulah kalimat yang pernah dibaca Steve di ensiklopedia.
Para calon dokter sudah menanti kedatangan papanya di laboratorium anatomi. Wajah-wajah mereka tak terbaca. Ada yang biasa saja, ada yang gelisah, tetapi ada juga yang tampak sangat ketakutan.
Siapa yang bisa tenang ketika sebentar lagi diajak membedah raga seseorang yang dulu pernah hidup, bernapas dengan udara yang sama di dunia ini, tapi sekarang nyawanya sudah berpindah ke alam lain?
“Jadi, dari mana bisa dapat kadaver ini, Pa?”
“Kadaver biasanya didapatkan dari rumah sakit, Nak. Ada jenazah-jenazah tanpa identitas yang sebatang kara tanpa keluarga. Proses untuk menjadikan kadaver pun tidak asal, ada undang-undang yang mengaturnya, jadi walaupun telah meninggal mereka tetap dihormati selayaknya yang masih hidup dan supaya enggak disalahgunakan tangan-tangan tak bertanggung jawab.” Meskipun Prayoga menjelaskan dengan sangat gamblang, dia tidak yakin Steve menangkap penjelasannya. Namun, ucapan Steve selanjutnya justru membuat Prayoga tercengang.
“Kasihan ya, Pa.” Steve merasa iba.
Papa tersenyum kikuk, ternyata Steve menyimak dengan serius. “Makanya, Nak, kita sudah seharusnya menghormati para kadaver ini. Tanpa kadaver, para dokter enggak mungkin bisa mempelajari anatomi tubuh manusia yang sangat kompleks, yang selanjutnya juga digunakan untuk menolong manusia. Para kadaver ini memang telah tiada, tetapi mereka adalah guru terbaik bagi perkembangan dunia medis. ‘Mortui vivos docent’, ingat, kan?
Steve mengangguk-angguk mafhum. Karena sungkan dengan mahasiswa lain, Steve memutuskan untuk menunggu di luar pintu laboratorium anatomi. Dia melihat papanya berjalan tegap, menyongsong para mahasiswa yang sudah menunggu dalam kebisuan.
“Kalau yang mengajar Pak Prayoga, pasti pakai ritual aneh-aneh lagi,” bisik salah satu mahasiswa.
Sebelum mereka memulai praktikum dengan kadaver, entah itu pembedahan atau sekadar pengamatan, Prayoga selalu berkata, “Ayo, kita berdoa dulu, untuk ‘mengetuk pintu’.”
Seisi laboratorium seketika hening. Tiga belas mahasiswa praktik berdiri menunduk mengelilingi kadaver yang terbujur kaku di meja praktik laboratorium anatomi. Aroma khas yang sangat menyengat menguar. Aroma yang Steve sadari sama seperti aroma papanya ketika baru pulang kerja tempo hari. Aroma yang belakangan Steve ketahui sebagai bau jasad manusia tanpa nyawa, yang telah bersenyawa dengan formalin, kemudian disimpan di dalam lemari pembeku penyimpan jenazah. Bagi para mahasiswa praktik tersebut, aroma itu sudah sangat familier. Steve pun tahu setiap kali papanya habis mengawasi praktik di kampus, papanya itu akan mandi lama, keramas, dan menggunakan berbagai wewangian untuk menghilangkan aroma khas yang susah hilang itu.
Setelah semuanya berdoa, terdengar papa Steve membaca larik sebuah geguritan.
Wyanga ikana dyasa sakaring janaloka,
mwiy buka jan aywa mwangseh, aywa muras ing sarira.
“Tuh, kan, ritual itu lagi,” bisik salah satu mahasiswa.
Tampaknya, Prayoga tidak mendengar celotehan mahasiswa itu. Dia mulai mengamati praktikum yang sedang berlangsung, sesekali memberi instruksi, dan mengoreksi praktik beberapa mahasiswa yang masih belum benar.
Biasanya, Prayoga selalu melantunkan geguritan penutup ketika mereka telah selesai praktik dengan kadaver.
Jan kang kapitut wyanga ing janaloka,
yyan mwiy wiwingkis, sira ywa mugangkara,
Namun pagi itu berbeda. Ketika para mahasiswa kedokteran sibuk mengamati kadaver, telepon Prayoga tiba-tiba berdering. Ada panggilan darurat dari rumah sakit, yang mengharuskan Prayoga meninggalkan para mahasiswanya.
“Jika saya belum kembali sampai waktu praktikum selesai, nanti Rico akan membimbing kalian,” pesan Prayoga. Rico salah satu mahasiswa senior yang begitu genius. Selama masa perkuliahan, dia sama sekali tidak pernah remedi tiap kali membedah kadaver. Atas kemampuannya itulah, Rico dipercaya oleh Prayoga untuk menjadi asistennya. “Ada pasien yang tergigit ular berbisa dan harus saya tangani di rumah sakit.”
Para mahasiswa di laboratorium anatomi oke-oke saja, tak terlalu memperhatikan pesan Prayoga untuk jangan lupa membaca geguritan penutup setelah selesai praktik dengan kadaver. Para mahasiswa itu terlalu sibuk mengamati saraf-saraf yang susunannya begitu rumit, sampai-sampai mereka tercengang, betapa Tuhan telah menetapkan segalanya di dunia ini begitu sistematis: “Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan (wahai jin dan manusia)?”.
“Steve, Papa antar pulang atau bareng Mas Rico?” tanya Prayoga ketika menghampiri Steve yang sejak tadi mengintip dari pintu laboratorium anatomi.
Steve tampak mengerutkan kening, berpikir. Jika papa mendapatkan panggilan darurat dari rumah sakit, sudah tentu kasus pasiennya gawat. Lantas, jika Steve minta diantar pulang, berarti akan menghambat papa dalam mempercepat pertolongan kepada pasien. Lagi pula, Steve kenal dekat dengan Mas Rico. Asisten papanya itu sering berkunjung ke rumah untuk berkonsultasi.
“Bareng Mas Rico saja, Pa.” Steve akhirnya memutuskan. “Papa pasti buru-buru, kan?”
Sebelum Prayoga memastikan keputusan Steve, Rico—yang sejak awal kelas dimulai sudah ada di sana—menimpali, “Biar Steve pulang bareng saya, Pak Prayoga. Lagi pula, sepertinya Steve masih ingin melihat-lihat praktik mereka.”
Prayoga pun meninggalkan ruang kelas pembedahan dengan perasaan lega. Tanpa mengetahui bahwa Rico lupa membacakan geguritan penutup begitu pelajaran di laboratorium anatomi hari itu selesai.
Steve masih mengamati kelas para calon dokter itu dari ambang pintu. Menjelang proses pembelajaran berakhir, suasana lengang. Angin sepoi-sepoi dari pepohonan di sekitar laboratorium membuat Steve meraba-raba bulu tengkuknya. Aroma formalin itu tiba-tiba terasa semakin pekat, dan kelas yang tadinya hidup seolah-olah mendadak tergelincir dalam kematian. Tumben siang begini Surabaya “sejuk”.
“K… k… k….”
Steve mendengar suara tertahan ketika masih mengusap-usap tengkuk. Suara berderak-derak yang tercekat. Entahlah, Steve tidak bisa mengenali bunyi itu. Yang jelas, bunyi itu sangat mengganggu gendang telinganya. Membuat ulu hatinya terasa ngilu karena seolah-olah telinganya dipaksa mendengar tulang-tulang manusia keras yang rontok dan tertekuk-tekuk beriringan dengan suara kesakitan yang tercekat di tenggorokan.
Steve mencoba mengabaikan bunyi janggal itu, dan mulai mengamati kembali Rico beserta para mahasiswa papanya. Saat itulah Steve terpaku. Kakinya terasa kebas. Mulutnya kelu. Keringat bercucuran di dahi, punggungnya serasa diguyur seember es.
Di atas meja praktik laboratorium, di mana kadaver itu terbujur kaku, Steve bisa melihat ada sosok yang mengambang. Seolah-olah sosok itu terombang-ambing mengitari para mahasiswa yang sedang praktik. Tidak, lebih tepatnya, sosok itu seolah-olah seringan angin dan volume badannya bisa mengikuti bentuk ruang. Daging pipi sosok itu terkoyak entah ke mana, rompal, rengkah-rengkah merah-kehitaman. Sementara sisi satunya yang berlubang, menunjukkan rahang kusam dengan deretan gigi tak rata yang telah menguning.
“K… k… k….”
Sosok itu memandangi Steve. Itu adalah awal Steve bisa melihat mereka yang datang dari dunia seberang. Mata batinnya terbuka, karena hari itu mereka lupa membacakan geguritan penutup ketika mengakhiri praktik bersama kadaver.
2014
Surabaya
Steve tidak pernah menceritakan kemampuannya itu kepada siapa pun, tidak sama sekali.
Malam-malam pada musim kemarau yang berkepanjangan ini membuat panas di Kota Surabaya semakin menjadi-jadi, hujan pun tak kunjung turun. Walaupun kipas angin terus-menerus berdengung di kamar, malam tetaplah gerah. Sudah memakai baju tipis pun masih terasa pengap, tak ubahnya terjebak di dalam mesin uap.
Tuk… tuk….
Jendela kaca kamar Steve yang terletak di lantai dua diketuk. Steve baru saja akan beranjak tidur. Dia pun membuka tirai karena diliputi rasa penasaran—apa gerangan yang mengetuk-ngetuk jendela kamarnya tengah malam begini. Sejenak Steve merasa ada yang janggal. Kamarnya terletak di lantai dua. Tidak ada tangga akses menuju balkon di kamarnya dari luar. Apabila ingin menuju balkon kamarnya di lantai dua, jalan satu-satunya adalah lewat dalam rumah.
Namun, Steve penasaran. Dengan malas dia menyibak tirai jendela kamarnya.
Kosong, tidak ada siapa-siapa. Hanya saja, Steve merasa bahwa kaca di jendela balkon berembun. Steve pun mendekat, dan mulai sadar bahwa itu bukan sekadar cairan, melainkan titik-titik cairan yang menetes-netes dari atas. Steve mendongak, mencari tahu asal tetesan cairan merah-kehitaman itu.
Steve tersentak. Sosok yang mengetuk jendela kamarnya memakai seragam almamater sekolahnya. Badge yang dipakai pun adalah badge kelasnya. Name tag di seragam tertera nama Andini. Hanya saja, seragam yang seharusnya cerah itu jadi berwarna merah pekat dan lengket. Kepala sang tamu tengah malam itu gepeng, meleyot berserabut. Andini adalah teman sekelasnya yang meninggal seminggu lalu karena insiden tabrak lari. Akibat tragedi itu, kepalanya hancur dan wajahnya sudah tak dapat dikenali saking kerasnya benturan yang terjadi. Sama seperti yang Steve lihat sekarang.
Saat itulah kembali muncul suara “K… k… k….” Suara yang acap kali terdengar tiap Steve melihat mereka yang datang dari dunia lain. Bau anyir menguar dari tubuh Andini yang merayap terseok-seok pada jendela kaca dengan kepala di bawah. Steve merasa hidungnya tertusuk-tusuk aroma besi, membuatnya terengah-engah, sementara saraf matanya terasa kaku karena tak bisa beralih dari Andini yang merayap dengan sebelah kaki terkatung-katung. Oksigen di dalam kamar itu terasa basi, dan bulir-bulir alveolus dalam paru-parunya menolak untuk berfungsi dengan benar.
Steve cepat menguasai diri, sontak dia menutup tirai jendela kamar dengan begitu keras sambil menyumpal telinganya yang lagi-lagi terasa ngilu.
Apa-apaan ini?
Steve pun akhirnya memberanikan diri menceritakan hal itu kepada teman-teman dekatnya di sekolah pada esok paginya. Namun, apa yang didapat?
Teman-teman Steve menyebutnya pembual. Gosip tentang Steve si pembual pun terdengar hingga di kelas lain, bahkan sampai ke kakak kelas. Tak heran jika senior terkaya di sekolahnya, Arka Sanjaya, memanggilnya si Mulut Besar. Itu menjadi kesempatan bagi Arka untuk ikut menyebarkan keburukan Steve yang selama ini selalu dipuja-puji para guru karena kecerdasannya dan prestasinya yang segudang. Bagi Arka, manusia-manusia sempurna yang tak pernah sedih seperti Steve, yang selalu menjalani harinya dengan mulus dan lurus, sungguh menyebalkan.
Padahal, Steve tidak membual. Dia tidak bermulut besar. Dia hanya berkata apa adanya, bahwa teman yang baru dimakamkan seminggu lalu menampakkan diri di hadapannya semalam.
Sejak saat itu, buku sketsa menjadi satu-satunya teman bagi Steve. Dia tumpahkan mereka yang menampakkan diri ke dalam ilustrasi. Anehnya, begitu yang tak kasatmata sudah tertoreh di buku sketsa, rasa takut yang bercokol di dada Steve jadi sedikit berkurang. Sebagian ketakutannya seolah-olah tersegel di dalam buku ilustrasi. Itulah asal muasal Steve suka menggambar dan menjadi akrab dengan ilustrasi.
Ibarat pengisap debu, torehan tangannya mampu melenyapkan sebagian kenangan buruk tentang makhluk-makhluk mengerikan itu. Orangtua Steve pun tidak tahu-menahu mengenai hal ini. Steve tidak pernah mengira bahwa “hobi” barunya untuk menorehkan hal buruk apa pun yang menyambanginya hanya memupuk kebencian Arka terhadapnya.
Arka sudah tidak menyukai Steve sejak cowok berkacamata itu menjuarai olimpiade sains, serta mewakili sekolahnya. Dan akhir-akhir ini, cowok cupu yang mumpuni di bidang akademik itu malah merambah menekuni dunia seni, begitu penilaian Arka terhadap Steve. Arka benci itu. Arka benci murid sempurna, karena yang boleh dilabeli sempurna hanyalah dirinya, putra penerus Sanjaya Group.
Steve pun menjadi langganan bulan-bulanan Arka dan kroco-kroconya sejak hari itu.
2015
Trawas, Mojokerto
Steve mencangklong tas ranselnya. Terasa sangat berat. Selama 3 hari 2 malam sekolahnya mengadakan acara outdoor learning di Trawas, Mojokerto. Para murid tinggal di sebuah penginapan yang berdekatan dengan hutan pinus.
Cuaca di Mojokerto akhir-akhir ini tidak menentu. Kabut turun hampir setiap hari, dan udara di sana sangat dingin. Alih-alih mengeluh karena cuaca yang terlampau dingin, para murid malah menikmati hari-hari mereka di sana; menyatu dengan alam sekaligus belajar mengenai vegetasi yang ada di wilayah tersebut. Jarang-jarang mereka berada di tempat dingin begini selama tiga hari berturut-turut. Ini sangat berbeda dengan Surabaya yang tidak pernah sedingin ini.
Hari ini begitu kegiatan outdoor learning dibubarkan, satu per satu mulai bersiap untuk pulang, tak terkecuali Steve. Jika boleh memilih, Steve akan lebih senang seandainya tiga tahunnya di SMP hanya diisi kegiatan outdoor learning seperti itu terus.
“Mumpung jadwal Papa di kampus dan di rumah sakit kosong, lho. Jarang-jarang Papa bisa jalan berdua dengan Steve sampai ke luar kota.” Begitulah kata Papa ketika Steve bilang dia lebih baik kembali ke Surabaya naik kendaraan umum, alih-alih merepotkan. “Pantesan Steve betah ya di sini,” celetuk Prayoga begitu Steve sudah naik ke mobil.
Udara di sekitar penginapan begitu segar. Kicau burung terdengar dari berbagai penjuru, tanpa ada sebias pun suara kendaraan bermotor. Sejauh mata memandang, dia disuguhi pepohonan pinus yang berjajar rapi, hijau, dan menyegarkan mata, jauh dari kondisi bising dan suasana menyesakkan seperti di kota.
“Belajar sekaligus rehat, kan Pa.” Steve menikmati hari berkabut, yang entah kenapa malah memberi rasa tenang.
“Kita main dulu, Nak?” tawar Papa. “Sepertinya asyik juga nyari tempat makan di sekitar sini.”
“Boleh, Pa. Steve senang-senang saja kalau makan sama Papa. Bisa makan sepuasnya.” Dia lalu membandingkan dengan jam-jam makan ketika masih kegiatan outdoor learning, makan nasi kotak yang menunya sudah dipukul rata. Padahal jika cuaca dingin, dia ingin makan yang hangat-hangat. Semangkuk bakso misalnya.
“Sayang Mama enggak ikut.”
“Hari ini ada jadwal operasi,” ungkap Prayoga.
Lalu, satu-satunya akses dari gerbang penginapan menuju jalan umum mendadak macet. Beberapa orang tampak berkerumun di gerbang masuk penginapan. Tak sedikit mobil yang masih mengantre di belakang mobil Prayoga. Satu per satu dari pengemudi mobil mulai menurunkan kaca jendela, mencari tahu apa yang sedang terjadi.
“Tadi baik-baik saja, kenapa tiba-tiba macet?” Prayoga celingukan.
Steve tak kalah penasaran. Dia ikut-ikutan menurunkan kaca mobil, sekadar untuk mendapatkan informasi yang masih samar-samar. Menurut beberapa pejalan kaki yang melintas di samping mobil mereka, ada seorang wanita yang tergigit ular berbisa dan kondisinya kritis.
“Ada yang kegigit ular berbisa, Pa.”
“Masa?” Prayoga menyangkal. “Penginapan ini reputasinya bagus lho, Steve. Karena dikelilingi hutan, sistem perlindungan dari ular berbisa ditingkatkan di sini. Ada pengecekan berkala, ada pawangnya juga. Sistem medis juga diperketat. Soalnya penginapan yang Steve pakai ini kan sudah taraf internasional, jadi benar-benar diperhatikan.”
Steve mengedikkan bahu. “Ah, mungkin Steve salah dengar.” Steve percaya-percaya saja. Pasalnya, papalah yang paling tahu tempat-tempat mana yang berbahaya, tempat mana yang aman, jika itu sudah menyangkut ular. “Lanjut, Pa. Nyari bakso.”
Hampir setengah jam mereka terjebak, hingga akhirnya mobil Prayoga berhasil merayap pelan keluar dari kompleks penginapan. Kabut masih menggantung di luar sana, dan udara juga masih dingin.
“Pa, sebenarnya yang biasa Papa ucapin tiap kali akan belajar bersama kadaver itu apa?”
Prayoga melirik Steve yang duduk di sebelah kirinya. “Geguritan,” sahutnya jujur. “Bukan hal khusus. Sebenarnya itu semacam kalimat ‘permisi’ karena kita akan ‘memasuki’ bekas ‘rumah’ dari ‘jiwa’ yang pernah ditinggali orang lain. Dunia ini, Steve, semua yang kosong akan ditempati mereka yang tak kasatmata; baik itu rumah, pohon, tubuh, bahkan sekadar boneka.”
Pikiran Steve kembali melayang sembari mengamati jajaran pohon pinus berselimut kabut yang dilewati. Dia mengerutkan kening. Rasa penasaran di wajahnya tertangkap oleh papanya.
“Kakekmu dulu juga dokter, ingat, kan. Papa dapat geguritan itu dari Kakek, Nak,” imbuh Prayoga. “Yah, Papa pun membacanya karena kebiasaan. Tapi kata Kakek, geguritan itu bisa membatasi—kalau-kalau ada makhluk-makhluk tak kasatmata usil dari dunia lain yang pengin mengganggu manusia.”
Tanpa sadar mata Steve mengerjap. Dia tidak berani bercerita, bahwa semenjak Mas Rico dan para mahasiswa lupa melafalkan geguritan penutup, Steve dapat melihat makhluk halus.
“Kenapa, Steve?”
Steve menggeleng. “Hanya penasaran.” Mana mungkin dia bercerita kepada papanya bahwa dia sering didatangi “mereka” yang datang dari dunia seberang itu. Prayoga cukup realistis. Steve yakin, ketika bercerita kepada Papa, hanya derai tawa yang akan menyambut ceritanya.