One Thousand Cranes: Hope Between Us
Setelah kehilangan Matsuda Kentarou—sahabat sekaligus cinta pertamanya—Sato Kimiko menutup perasaannya dari semua orang. Pertemuan di sebuah klub tinju memperkenalkan Kimiko dengan Kinoshita Zen, sosok yang sekilas terlihat hidup dalam kenyamanan, namun menyimpan berbagai cerita pahit dan sedang berusaha keras mencari jati dirinya.
Kisah ini bercerita tentang Zen, yang akhirnya menemukan jalan pulang setelah lama tersesat dan merasa ragu. Juga tentang Kimiko, yang pada akhirnya menemukan cara untuk melepaskan dan berdamai dengan masa lalu.
Author | : | Maru |
Price | : | Rp 79,000 |
Category | : | FICTION |
Page | : | 199 halaman |
Format | : | E-Book |
Size | : | 14.8 cm X 21 cm |
ISBN | : | 9786230413919 |
Publication | : | 20 June 2023 |
Dulu, aku sangat menyukai salju.
Tidak, dinginnya tidak mengganggu. Setiap butiran salju yang jatuh—yang kerap membuat pakaianmu basah—tidak pernah membuatku membenci musim dingin. Tidak juga jalanannya yang licin atau ketebalan salju menumpuk yang membuat langkah-langkahmu terasa berat. Nyatanya, aku menikmati setiap butiran salju yang menurut para ilmuwan jatuh dengan kecepatan satu sampai enam kaki per detik ke atas muka bumi. Aku menyukai warna putihnya yang cantik. Aku mencintai ornamen-ornamen natal yang selalu identik dengan musim dingin.
Pada musim indah itu pula, aku pertama kali bertemu dengannya.
Ia, bertolak belakang denganku, tidak begitu menikmati musim dingin. Aku ingat kedua tangannya yang selalu terbenam dalam saku jaket, juga kedua telinganya yang memerah setiap kali udara dingin menerpa tubuhnya. Aku juga ingat gerutu yang terdengar setiap kali suhu udara menurun dengan drastis. Pernah suatu ketika, ia menggerutu saat suhu udara jatuh menginjak minus 2°C.
“Jack Frost itu jahat, ya.” Aku yang sedang asyik menikmati semangkuk ramen, mendadak tidak dapat berhenti tertawa dan tersedak. Ia memandangiku dengan tatapan terkhianati setelah menyodorkan segelas air putih.
Aku masih ingat jawabanku saat itu. “Tidak, Jack Frost itu makhluk mistis paling sempurna.” Setelah mendengar tanggapanku, ia menghabiskan ramennya dalam diam seolah merajuk, dan aku tertawa lagi karenanya.
Kami baru saling mengenal saat kami menginjak pertengahan tahun kedua sekolah menengah pertama. Kami tidak pergi ke sekolah yang sama. Namun, pada suatu musim dingin, takdir memperkenankan kami untuk bertemu.
Hari itu Sabtu, jatuh pada pertengahan bulan Desember dan mendadak saja suhu menurun dengan sangat signifikan. Menambah keburukan cuaca di hari itu, rintik-rintik hujan mulai turun, yang lama kelamaan menjadi sedikit lebih lebat dari menit sebelumnya. Cuaca yang cukup buruk membuat rumah makan milik Okaa-san sepi pengunjung. Karena itu, aku dan Okaa-san malah sibuk bercanda gurau di salah satu meja pelanggan di dekat jendela. Tepat pada saat itu, ia berlari kecil, berlindung pada kanopi merah di depan toko kami.
Okaa-san yang sedang tertawa karena salah satu gurauanku, mendadak saja berhenti ketika pandangannya terlempar keluar jendela. Setelahnya, Okaa-san berdiri dan memintaku untuk memanggil anak itu masuk. Aku ingat protesku yang saat itu berbunyi, ‘Jika anak itu memang berniat masuk, ia akan masuk dengan sendirinya tanpa undangan sekalipun.’ Namun, Ibuku yang rendah hati itu malah menceramahi kepribadianku—yang menurutnya sangat buruk—lalu mendorongku keluar.
Di luar, anak laki-laki itu sedang berdiri dengan kedua tangannya terbenam dalam-dalam di saku jaketnya. Wajahnya terlihat lucu, dengan alis yang bertaut memandangi hujan, komplit dengan dua pasang telinga yang memerah. Kedua kakinya yang jenjang bergerak-gerak di tempat, berusaha mengusir udara dingin yang sepertinya sangat mengganggu.
“Hei, kau,” kepulan asap keluar dari mulutku. Detik itu aku menggunakan bahasa Jepang yang tidak formal, bukan hanya karena ia terlihat berumur sama denganku, tetapi karena pada saat itu, ia membawa tas olahraga dengan nama sekolah yang tercantum dengan jelas. Entah kenapa, sejak pertama aku merasa bahasa yang formal tidak diperlukan di antara kami.
Ia menoleh, tanpa alasan terlihat sangat terkejut. Ia menunjuk dirinya sendiri dengan wajah bertanya dan aku menanggapinya dengan anggukan.
“Masuklah,” aku menunjuk shoji—sebutan untuk pintu geser kayu—yang menjadi pintu masuk rumah makan milik Ibuku.
Awalnya, ia terlihat ragu. Ia mendongak menatap papan kayu yang tergantung di atas pintu masuk rumah makan kami, kemudian kembali menatapku. Aku memutar bola mataku.
“Oden adalah menu special hari ini,” ujarku ringan. Aku melihat wajahnya yang tadinya ragu berubah perlahan-lahan, dan aku mengulum senyum kemenangan ketika ia mengikutiku berbalik masuk. Ya, aku yakin tidak ada orang yang akan menolak ajakan untuk menyantap semangkuk Oden yang mengepul di tengah cuaca mengenaskan musim dingin ini.
Okaa-san sudah sibuk di dapur. Aroma sedap menguar, begitu menggiurkan. Ketika aku pergi ke dapur untuk membantu, ia malah mengusirku untuk menemani tamu. Aku kembali memberengut, namun pada akhirnya menuruti perintahnya. Tak lama, Okaa-san keluar dari dapur, menyalakan kompor portable di atas meja kami, lalu meletakkan hotpot besar berisi Oden yang terlihat begitu sedap.
Hari itu, pada senja di bulan Desember, di tengah cuaca dingin dan ditemani gerimis yang menjelma menjadi hujan deras, kami berkenalan.
Namanya Kentarou. Matsuda Kentarou.
Ia adalah orang yang membuatku semakin jatuh cinta pada musim dingin.
Ia pula yang pada akhirnya membuatku membenci musim itu selamanya.