The School for Good and Evil 3 - Akhir Bahagia Selamanya Cover 2022 (E-Book)

The School for Good and Evil 3 - Akhir Bahagia Selamanya Cover 2022 (E-Book)

14-16 tahun
Synopsis

The School for Good and Evil merupakan serial fantasi yang terdiri dari enam judul. Buku pertamanya dari serial ini sudah terjual sebanyak 3 juta eksemplar dan telah diterjemahkan dalam 30 bahasa. Empat buku pertama dari The School for Good and Evil juga telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Bhuana Ilmu Populer. Dunia dalam kisah The School for Good and Evil disebut-sebut sebagai versi fairy tale dari Harry Potter. 

Sophie merasa berada di persimpangan ketika Sang Guru berlutut meminangnya. Di satu sisi, dia menginginkan cinta sejatinya terwujud. Di sisi yang lain, ia menginginkan sahabatnya, Agatha, kembali. Namun, ia tidak bisa menampik kecemburuannya pada kebahagiaan Agatha dan Tedros. Sementara di Galvadon, Agatha dan Tedros justru semakin sering bertengkar dan semakin menjauh. Mereka pun menyadari bahwa Sophie-lah yang menyatukan mereka. Mereka harus kembali ke sekolah dan menyelamatkan Sophie. 

Soman Chainani adalah seorang penulis dan produser yang berkebangsaan Amerika. Dia dikenal sebagai penulis buku trilogi The School for Good and Evil. Saat kuliah, dia mengambil jurusan English and American Literature di Harvard University. Bahkan Soman meraih gelar Cum Laude saat dia menyelesaikan pendidikannya di sana. Setelah itu dia melanjutkan kuliahnya ke Colombia University tempat dia mengikuti pertandingan MFA Program Film. 

Novel yang pertama yang dia tulis adalah novel The School for Good and Evil yang dirilis di New York Times Bestseller List dan sudah diterjemahkan dalam 26 bahasa dan tersebar di 6 benua. Novel ini juga nantinya akan difilmkan oleh Universal Studio dan akan di sutradarai oleh Joe Roth (sutradara film Snow White & The Huntsman, Alice in Wonderland serta Maleficent) dan Jane Startz ( sutradara film Ella Enchanted dan Tuck Everlasting).

Sinopsis:

“Akan membawamu berimajinasi ke dunia dongeng dan bertanya-tanya siapa yang baik dan siapa yang jahat. loved it!”
—Rick Riordan, penulis serial Olympians dan
Percy Jackson

Sophie bimbang. Apakah benar, cinta sejatinya adalah Sang Guru? Jika dia menerima pinangan Sang Guru, Kejahatan akan merajalela. Bukankah ia sudah berusaha keras menjadi baik?

Agatha merasa hubungannya dengan Tedros semakin menjauh. Pertengkaran pun mewarnai hari-hari mereka. Hingga mereka menyadari satu persamaan yang menyatukan mereka, Sophie. Mereka bertekad untuk menyelamatkan Sophie.

Misteri demi misteri terungkap dan kebenaran mulai tersibak. Takdir yang menautkan Sophie dan Agatha memang dituliskan dari jauh sebelumnya. Mana­kah yang akan dipilih Sophie? Tetap bersama Sang Guru dan membiarkan Kejahatan menang? Ataukah memilih membantu Agatha, sahabat terbaik­nya, dan Kebaikan untuk menang?


Author : Soman Chainani
Price : Rp 199,000
Category : FICTION,SCIENCE FICTION & FANTASY
Page : 740 halaman
Format : E-Book
Size : 13.5 cm X 20 cm
ISBN : 9786230410505
Publication : 07 March 2023

Wajar saja meragukan cinta sejatimu kalau kau tak tahu pasti apakah ia masih muda atau sudah tua.

Dia benar-benar terlihat masih muda, pikir Sophie sambil memperhatikan pemuda kurus bertelanjang dada yang sedang memandang ke luar jendela, bermandikan cahaya matahari yang redup. Sophie meneliti kulit putih mulus dan celana hitam ketat pemuda itu, rambut jabriknya yang tebal sewarna salju, urat-urat menonjol pada lengannya, matanya sebiru sungai es.... Ia terlihat berusia 16 tahun, tak sehari pun lebih tua. Namun di dalam sosok asing tampan ini tersimpan jiwa yang lebih tua dari 16 tahun—jauh, jauh, lebih tua dari 16 tahun. Selama tiga minggu ter­akhir, Sophie menolak cincin darinya. Bagaimana ia bisa terikat pada pemuda dengan Sang Guru di dalam diri pemuda itu?

Meski demikian, semakin Sophie memperhatikan si pemuda, semakin ia tidak melihat Sang Guru. Sophie hanya melihat anak muda segar nan lembut yang meminang­nya, dengan tulang pipi tajam dan bibir penuh—lebih tampan dari sang pangeran, lebih berkuasa dari sang pangeran; dan tidak seperti Si Pangeran Kau-Tahu-Siapa, pemuda ini miliknya. 

Sophie memerah, teringat betapa ia sebatang kara di dunia ini. Semua orang sudah meninggalkannya. Setiap usaha mati-matian untuk menjadi Baik dibalas dengan pengkhianatan. Ia tidak punya keluarga, teman, bahkan masa depan. Kini, pemuda menawan di hadapannya ini adalah harapan cinta terakhirnya. Rasa panik membakar seluruh otot tubuhnya dan membuat kerongkongannya kering. Tidak ada pilihan lain.

Sophie menelan ludah dan perlahan mendekatinya.

Lihat dia. Dia tidak lebih tua darimu, ia menenangkan dirinya sendiri. Pemuda impianmu. Jemari Sophie gemetar meraih punggung telanjang pemuda itu... hingga tiba-tiba ia mematung saat melangkah. Pemuda ini bangkit dari kematian berkat sihir, pikirnya sambil menarik kembali tangannya. Lalu untuk berapa lamakah sihir bisa bertahan?

“Kau mengajukan pertanyaan keliru pada dirimu,” suara lembut terdengar. “Sihir tidak dipengaruhi waktu.”

Sophie mendongak. Pemuda itu tidak sedang melihat ke arahnya, ia tetap fokus pada matahari yang pucat, nyaris tak kuat menembus kabut pagi.

“Sejak kapan kau bisa membaca pikiranku?” tanya Sophie terkesima.

“Aku tidak perlu bisa mendengarkan pikiran untuk bisa tahu cara berpikir seorang Pembaca,” jawabnya.

Berbalut jubah hitam, Sophie berdiri di samping pemuda itu. Ia bisa merasakan dinginnya kulit pucat anak laki-laki itu. Ia teringat kulit kecokelatan Tedros yang selalu berkeringat, hangat bagai beruang. Rasa panas memenuhi tubuhnya—kemarahan dan penyesalan, atau sesuatu di antara keduanya. Ia memaksakan diri lebih mendekati pemuda itu, lengan Sophie bersentuhan dengan dada pucat si pe­­muda.

Ia tetap tidak menoleh pada Sophie.

“Ada apa?” tanya Sophie.

“Matahari,” jawabnya sambil menatap sinar redup di antara kabut.

“Setiap hari terbitnya semakin lemah dari hari sebelumnya.”­­­

“Kalau saja kau juga punya kekuatan untuk membuat matahari bersinar,” gumam Sophie. “Seperti pesta teh setiap hari.”

Pemuda itu menatap masam. Sophie mematung, teringat bahwa tidak seperti mantan sahabatnya yang Baik, pendampingnya yang baru ini tidak Baik dan tidak pula ramah. Ia cepat-cepat kembali memandang ke luar jendela, menggigil karena dingin yang membeku. “Oh, ya ampun, sinar matahari kan memang redup di musim dingin. Tidak perlu penyihir untuk tahu itu.”

“Mungkin Pembaca juga bisa menjelaskan ini,” balas­nya sambil melenggang ke meja batu putih di sudut, tempat sebuah pena panjang runcing berbentuk seperti jarum rajut, melayang di atas buku dongeng yang terbuka. Sophie menoleh ke buku itu, menengok warna-warna pada halaman terakhir: lukisan dirinya berciuman dengan Sang Guru yang berubah menjadi muda, sementara sahabatnya menghilang pulang bersama seorang pangeran.

TAMAT.

“Tiga minggu sejak Storian menulis Akhir Bahagia kita,” kata pemuda itu, “dalam hitungan hari, seharusnya sekarang Storian sudah memulai dongeng baru dengan cinta berada di pihak Kejahatan. Cinta yang akan menghancurkan Kebaikan melalui dongeng demi dongeng. Cinta yang mengubah pena itu menjadi senjata Kejahatan, bukannya kutukan.” Matanya menyipit serupa goresan. “Tapi ke­nyataannya pena ini membuka kembali buku yang sudah tertutup dan diam di situ, melayang di atas TAMAT seperti panggung sandiwara yang tirainya tak bisa menutup.”

Sophie tak bisa mengalihkan pandangannya dari Agatha­­­ dan Tedros pada halaman itu, berpelukan penuh cinta sementara mereka menghilang. Perut Sophie tegang, wajahnya merah padam—“Nih,” ujarnya serak, menutup buku itu keras-keras, lalu menjejalkan buku dongeng bersampul merah ceri itu di antara Pangeran Katak, Cinderella, Rapunzel, dan dongeng-dongeng lain yang sudah ditulis Storian hingga tuntas. Debar jantungnya melambat. “Tirainya sudah ditutup.”

Tiba-tiba buku itu bergerak-gerak melepaskan diri dari rak dan menyambar wajah Sophie, membuat gadis itu terbentur ke dinding, sebelum akhirnya terbang ke atas meja batu, kembali membuka pada halaman terakhir. Storian berkilauan tajam di atasnya.

“Ini bukan kebetulan,” kata pemuda itu seraya melangkah ke arah Sophie yang mengusap-usap pipinya yang nyeri. “Storian menjaga dunia kita tetap hidup dengan membuat kisah-kisah baru, dan saat ini Storian tidak tampak ingin beralih dari kisah kalian. Selama pena itu tidak memulai kisah baru, matahari sekarat hari demi hari, sampai Hutan menjadi gelap dan akan Tamat bagi kita semua.”

Sophie menatap pemuda itu, tubuhnya membentuk siluet akibat cahaya redup.

“Tapi—tapi apa yang ditunggu pena itu?”

Pemuda itu mendekat dan menyentuh leher Sophie, jemarinya terasa beku pada kulit lembut sewarna persik Sophie. Gadis itu menarik diri, mendesak rak buku. Si pemuda­ tersenyum dan tambah mendekat, menghalangi sinar matahari. “Kurasa ada yang ragu apakah aku memang cinta sejatimu,” ucapnya lembut. “Ada yang ragu apakah kau benar-benar berkomitmen pada Kejahatan. Ada yang ragu apakah sahabatmu dan pangerannya memang harus pergi se­lamanya.” 

Perlahan Sophie mengangkat kepalanya ke arah ba­­­yang­an hitam itu.

“Kaulah yang ragu,” tunjuk Sang Guru.

Sophie menunduk, melihat cincin emas di telapak ta­ngan dingin pemuda itu beserta pantulan wajahnya yang ketakutan di sana.

RECOMMENDED FOR YOU Explore More