Kencan Kilat
Kencan Kilat adalah novel yang ditulis oleh Farah Dina Karina. Novel ini mengisahkan tentang sebuah aplikasi kencan daring berbayar bernama Aplikasi Kencan Kilat. Aplikasi ini akan membantu para penggunanya untuk menemukan pasangan hidup mereka dalam tujuh kali kencan. Bram, tokoh utama dalam novel ini, menggunakan aplikasi Kencan Kilat ini karena paksaan adiknya. Apakah Bram dapat menemukan pasangan hidupnya melalui Aplikasi Kencan Kilat ini? Temukan jawabannya dalam novel Kencan Kilat ini.
Author | : | Farah Vida |
Price | : | Rp 79,000 |
Category | : | FICTION,ROMANCE |
Page | : | 304 halaman |
Format | : | E-Book |
Size | : | 13 cm X 19 cm |
ISBN | : | 9786230409127 |
Publication | : | 08 February 2023 |
BramantioA dipasangkan dengan GratiaRejek
Kencan Kilat kali ini memasangkan Bram dengan Tia, seorang pramugari di maskapai penerbangan swasta. Wanita itu tinggi
semampai, sesuai dengan syarat yang Bram ajukan, 175 cm. Masalahnya kali ini adalah, baru kemarin mereka dipasangkan, hari ini juga Tia minta bertemu, karena besok pagi dia ada jadwal flight.
“Memang sih, salah satu syarat teman kencan saya harus punya pekerjaan. Tapi, saya selalu match sama wanita supersibuk terus. Entah apakah ini yang dinamakan rejeki nomplok.” Bram membuka obrolan.
“Saya malah justru khawatir, takut dikira ngebet pengen ketemu. Makasih, ya, kamu udah maklum sama pekerjaan saya,” balas
Tia sembari bernapas lega.
Obrolan mereka malam itu melanglang buana dari Sabang sampai Merauke, kecuali Miangas dan Pulau Rote. Ya, beberapa bulan belakangan ini Tia memang hanya ditugaskan untuk penerbangan dalam negeri.
“Sekarang homebase saya di Makassar, dulu pernah di Bali juga. Tapi sekarang, Bali cuma untuk anak-anak baru aja,” jelas Tia. Secara tersirat, dia ingin mengatakan dia sudah berada di level yang cukup senior.
“Jadi, setiap hari kamu sarapannya coto Makassar, dong?” canda Bram. Memang terdengar garing, tetapi karena Tia sudah mahir melayani banyak penumpang dengan berbagai model, Tia pun bisa menimpali.
“Iya, saking seringnya saya udah bisa bedain coto Makassar dari setiap rumah makan,” kata Tia ikut bercanda. “Tapi dibanding coto Makassar, saya lebih suka sop saudara. Uenaaak banget. Apalagi kalau makannya sama buras.”
Menu yang disebut Tia terdengar asing di telinga Bram. “Sop saudara tuh kakak atau adeknya coto Makassar?” tanya Bram asal.
“Iparnya, sih,” jawab Tia lebih asal.
“Memang isinya apa aja? Saya malah baru denger. Udah beberapa kali transit di Makassar, tapi nggak pernah ditawarin sop saudara sama pramugari,” kata Bram jahil. Raut wajahnya tidak bisa berbohong kalau dia menikmati obrolan mereka.
Tia pun menjelaskan dengan antusias, apalagi menyangkut makanan favoritnya. “Yang pasti ada daging sapi, paru goreng yang kalau dicampur kuah jadi enak banget. Ada bola-bola kentang dan sohun juga. Terus kuahnya campur telur bebek.”
“Apalagi yang mau kamu rekomendasiin, mau saya catet. Supaya kalau mau ke Makassar udah ada list buat wisata kuliner,” kata Bram.
“Ada tuh namanya mi titi, mi-nya tipis, digoreng sampe garing. Terus makannya pake kuah kental campur seafood sama sayuran.”
“Kalau makan mi titi bakalan jadi garing nggak?” canda Bram khas dengan jokes bapak-bapaknya.
“Belum makan mi titi aja pertanyaanmu udah garing,” kata Tia sembari geleng-geleng kepala.
Tiba-tiba Bram berubah serius. Bahkan pria itu menegakkan punggungnya. “Saya mau nanya—” Bram menggantungkan kalimatnya, membuat Tia menebak-nebak apa yang akan ditanyakan Bram. Cukup lama Bram memberi jeda sampai dia melanjutkan kalimatnya. “Saya lupa nama makanannya apa. Bebek pekuk? Bebek pelepuk? Bebek terus kata belakangnya ada 'kuk' atau 'kok'-pokoknya.”
“Bebek palekko, astaga!” sahut Tia gemas sendiri melihat tingkah laku pria yang duduk di hadapannya. “Serius, air mata saya sampai mau netes bayangin bebek palekko tiba-tiba berubah jadi bebek pelepuk."
“Nah, iya itu!” Akhirnya Bram ingat nama makanan yang temannya pernah singgung. “Kata teman saya yang orang Makassar—tapi udah 35 tahun nggak ke Makassar, bebek palekko tuh dari daging itik, ya?”
Tia yang sedang minum pun hampir tersedak. “Kamu percaya?” Alih-alih menjawab, Tia malah balik bertanya.
“Percaya-percaya aja, sih. Saya kan nggak tahu. Eh, tapi beneran? Nggak ada dagingnya, dong? Atau kayak makan tulang muda?”
"Jujur, saya juga nggak yakin daging apa. Yang jelas kalau kamu lihat tampilannya, kebayang rempahnya banyak. Kalau kamu suka makanan pedas, pasti bakal makin suka," jelas Tia panjang lebar.
“Ngomong-ngomong kayaknya kamu paham banget sama dunia kuliner,” kata Bram heran.
“Kalau pensiun kayaknya saya pengen daftar jadi host wisata kuliner di stasiun TV Makassar.” Tatapan Tia mengawang-awang.
“Kenapa nggak buka rumah makan aja?” tanya Bram bingung.
“Bakat saya cuma makan doang,” jawab Tia kemudian terkekeh geli.
Obrolan mereka pun makin mendalam. Dari topik kuliner, mereka beranjak membahas pekerjaan Bram. Sejak awal mereka match, Tia sekadar tahu bahwa Bram bekerja di perusahaan kontraktor. Cukup membuatnya terkesan mengetahui bidang yang tidak berhubungan dengannya selama ini. “Saya baru selesai ngerjain Bendung Glapan yang direhab.”
“Wah, kereeen,” seru Tia antusias. “Tapi, sorry. Itu di mana? Jawa Timur atau Jawa Tengah?”
“Jawa Tengah, jaraknya paling sejam dari Semarang.” Bram menarik sudut bibirnya ke atas begitu menangkap sesuatu yang ganjil di matanya. “Saya yakin kamu nggak bisa bedain bendung dan bendungan,” sindir Bram dengan mata menyipit.
“Lho? Memang beda, ya?” tanya Tia bingung.
Kemudian mulailah kuliah singkat dari Bram, bermodalkan iPad dan beberapa contoh proyek bendung untuk pengambilan air yang sudah selesai direhab, serta sebuah pemodelan Bendungan Gongseng yang akan segera dia kerjakan.
“Jadi, sama aja, kan? Bendung adalah struktur bendungan yang kepalanya rendah,” kata Tia menyimpulkan. Bram menggeleng cepat.
“Saya juga pengen bilang kalau bendung dan bendungan sama, tapi sebatas fungsinya untuk memenuhi kebutuhan pengairan. Secara teknis, bendungan tuh sebagai penahan aliran air sungai yang nantinya membentuk waduk. Kalau bendung buat naikkin tinggi muka air sampai ketinggian yang diperluin yang nanti airnya mengalir ke saluran irigasi. Kamu bisa menemukan bendung di sungai.”
“Oh, maaf. Saya nggak pernah jalan-jalan ke sungai,” canda Tia. “Maklum, saya kalau jalan-jalan kan selalu naik pesawat.” Wanita itu pura-pura memasang wajah sombong.
“Waduh, saya kalah. Enak banget ya kerjaannya jalan-jalan mulu,” kata Bram sedikit iri.
“Ya ada plus minusnya, lah. Saya memang bisa kerja sambil ngunjungin banyak daerah—dan benar, sekalian jalan-jalan. Tapi jauh dari keluarga. Jadi ada kangennya, banyak malah,” ungkap Tia membuka sesi curhat.
Bram tersadar akan hal itu. Setiap pekerjaan ada enak dan tidaknya. Hanya karena pekerjaannya tidak estetik, lantas dia menganggap yang Tia jalani lebih seperti refreshing. Setidaknya, Bram punya lebih banyak waktu untuk bertemu keluarganya.
Malam makin malam, bahkan telah menyentuh pukul 21.15. Makanan di atas meja sudah habis. Dan salah satu dari mereka sudah memberi kode, sekaranglah saatnya membahas apakah mereka akan lanjut atau berhenti di sini.
“Kamu tampan, pekerjaan mapan. Kenapa join Kencan Kilat? Kayaknya nggak mungkin deh nggak ada yang naksir kamu."
Seperti Sandra, Tia juga menanyakan pertanyaan yang sama. Dan sepertinya kali ini Bram harus mengulang jawabannya.
“Teman-teman saya kan kebanyakan supervisor, engineer, mandor, sama kuli bangunan. Hampir semuanya laki-laki.”
“Hampir, berarti ada perempuannya juga dong?” Tebakan Tia hampir benar. Di lapangan memang tidak ada perempuan, tetapi di kantor pusat tentu ada.
"Ya... tapi kebanyakan udah pada menikah. Ada yang belum sih, tapi nggak dekat dengan saya.”
Tia manggut-manggut mengerti. Kini giliran Bram ingin memastikan apakah dia akan lanjut atau tidak.
“Saya lihat di profil, umur kamu 25 tahun. Mungkin kamu masih punya banyak waktu untuk memilih pasangan dan nggak merasa buru-buru. Sementara saya, jujur, saya daftar Kencan Kilat karena udah 34 tahun dan ingin serius.”
Selama tiga tahun terakhir dia lelah diteror oleh pertanyaan “kapan nikah” yang membuat kupingnya panas. Terlebih jika menghadiri acara keluarga ataupun pernikahan teman-teman, akan selalu ada pertanyaan sejenis. Atau pertanyaan berbeda, tapi maknanya kurang lebih sama: “mana pasangannya?”
Seketika raut wajah Tia berubah serius. Bram berusaha membaca raut wajah wanita itu. Entah berapa asumsi yang muncul di benak Bram—keinginan balas dendam karena ditinggal menikah oleh mantan pacar, dikejar-kejar utang sehingga buru-buru mencari pasangan mapan, atau orangtua yang sakit sehingga gadis itu ingin segera naik pelaminan demi menyenangkan orangtuanya, atau—
“Saya udah punya anak.”
Percayalah, opsi itu tidak ada dalam asumsi Bram sedetik lalu.