Pemulihan Aset Pemerintah Provinsi Sumatra Utara Dalam Rangka Membangun Public Trust Kejaksaan

Pemulihan Aset Pemerintah Provinsi Sumatra Utara Dalam Rangka Membangun Public Trust Kejaksaan

17 tahun ke atas
Synopsis

Pemerintah Provinsi Sumatra Utara diamanahkan oleh konstitusi untuk menjaga dan mengelola aset negara sehingga dapat menghasilkan manfaat besar dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara berusaha membangkitkan kembali kepercayaan publik (public trust), sehingga fungsi dan kewenangan yang diberikan kepada lembaga kejaksaan dapat memberikan sumbangsih bagi terwujudnya tujuan bernegara sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945.
Buku ini berisi pengetahuan tentang pengelolaan aset negara yang benar, tertib, modern, serta tidak terlepas dari pertimbangan ekonomi dan aspek hukum. Melalui buku ini, pengelolaan aset diharapkan mampu memberikan gambaran yang lebih nyata terhadap kondisi nilai seluruh aset negara, terutama aset yang dimiliki pemerintah Provinsi Sumatra Utara.


Author : Argentina M. Sinaga, S.H.,Dr. Christian Orchard Perangin angin, S.H., M.Kn., CLA.,Dr. M. Iqbal Asnawi, S.H., M.H.,Dr. Prima Idwan Mariza, S.H., M.Hum.,Mila Suvia, S.H.
Price : Rp 249,000
Category : LAW
Page : 200 halaman
Format : Soft Cover
Size : 14 cm X 21 cm
ISBN : 9786230412226
Publication : 15 February 2023

BAB 1
LEMBAGA KEJAKSAAN DALAM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

A. Lembaga Kejaksaan dalam Perspektif Histori
Eksistensi kejaksaan sudah ada pada zaman Kerajaan Majapahit. Disebutkan saat zaman Majapahit terdapat beberapa jabatan yang dinamakan Dhyaksa, Adhyaksa, dan Dharmadhyaksa. Tugas Gajah Mada dalam urusan penegakan hukum bukan sekadar sebagai Adhyaksa, melainkan juga sebagai pelaksana segala peraturan raja dan melaporkan perkara-perkara sulit ke pengadilan. Tugas Gajah Mada ini apabila kita bandingkan dengan zaman sekarang memiliki kesamaan dengan tugas jaksa. Tugas Gajah Mada saat itu bisa disimpulkan sebagai alat negara atau wakil dari raja dalam hal pelaporan perkara-perkara ke pengadilan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa kedudukan kejaksaan sejak zaman dahulu kala sebagai alat negara dan pertanggungjawabannya kepada kepala negara yang saat itu di bawah pimpinan Raja Hayam Wuruk.
Dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia kedudukan lembaga kejaksaan banyak mengalami perubahan, baik secara kelembagaan maupun regulasinya. Kejaksaan merupakan badan negara yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka, demikian pula dengan berbagai pengaturannya. Sehingga pada dasarnya kejaksaan adalah meneruskan apa yang telah diatur dalam Indische Staatsregeling yang dalam kedudukannya menempatkan Kejaksaan Agung berdampingan dengan Mahkamah Agung. Ketentuan-ketentuan di dalam Indische Staatsregeling yang mengatur kedudukan kejaksaan pada dasarnya adalah sama dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Negeri Belanda.
Lembaga penegak hukum yang ada hubungannya dengan kejaksaan pada masa pemerintahan Hindia Belanda adalah Pengadilan Negeri (Landraad). Pengadilan Negeri (Landraad) merupakan pengadilan sehari-hari bagi penduduk Bumiputera atau yang dipersamakan, baik dalam perkara sipil (perdata) maupun pidana. Pengadilan Justisi (raad van justitie) merupakan pengadilan sehari-hari bagi golongan Eropa dan merupakan pengadilan banding bagi Landraad. Pengadilan Justisi ini juga berwenang untuk memutuskan perselisihan wewenang untuk mengadili (jurisdictie geschillen). Terakhir adalah Mahkamah Agung (Hooggerechtshof). Mahkamah Agung ini merupakan pengadilan tertinggi yang mempunyai wewenang antara lain mengadili perkara banding dari perkara-perkara yang diputus Raad van Justitie, memutus perkara-perkara yang diminta kasasi, memutus dalam tingkat pertama dan terakhir perkara-perkara yang termasuk golongan forum privilegiatum, seperti para pejabat tinggi tertentu dan para sultan serta perselisihan-perselisihan wewenang mengadili jurisdictie geschillen antara pengadilan-pengadilan tingkat banding, antara pengadilan sipil dan militer, serta antara pengadilan swapraja.
Dalam ketiga jenis peradilan tersebut ada pegawai-pegawai yang diberi wewenang selaku pengemban tugas dari suatu lembaga (badan atau dinas) negara yang dinamakan Openbaar Ministerie yang memunyai tugas pokok antara lain:
1. mempertahankan segala peraturan negara;
2. melakukan penuntutan segala tindak pidana; dan
3. melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, kejaksaan lebih terlihat sebagai perpanjangan tangan penguasa penjajah negeri ini pada saat itu, khususnya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS).
Setelah bangsa Belanda kalah dari bangsa Jepang pada 1942-1945, maka secara langsung juga terjadi penyerahan kekuasaan antara bangsa Belanda kepada bangsa Jepang, termasuk kekuasaan pemerintahan Belanda di Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Jepang digariskan bahwa kejaksaan diberi kekuasaan (ditugaskan) untuk:
1. mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran;
2. menuntut perkara;
3. menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal; dan
4. mengurus pekerjaan lain-lain yang wajib dilakukan menurut hukum.
Dengan demikian, penyidikan menjadi salah satu tugas umum kejaksaan sejak Tihoo Kensatsu Kyoku hingga Kootoo Kensatsu dan Saiko Kensatsu Kyoku.
Selain melakukan perubahan dalam jenis badan peradilan, pihak Jepang juga mengubah alat penuntut umumnya. Magistracy dan Officier van Justitie ditiadakan; tugas dan wewenang mereka dibebankan kepada penuntut umum Bumiputera (jaksa) di bawah pengawasan kepala kantor kejaksaan bersangkutan, seorang jaksa bangsa Jepang. Dengan demikian, jaksa menjadi satu-satunya penuntut umum seluruh kejaksaan mula-mula ada di bawah perintah dan koordinasi Sihoobucoo (Direktur Departemen Kehakiman), kemudian Cianbucoo (Direktur Keamanan) yang untuk tingkat pusat ada di Gunseikanbu dan untuk tingkat daerah di kantor-kantor keresidenan (Syuu). Dengan demikian, jaksa di daerah-daerah tidak lagi di bawah perintah langsung residen/asisten residen, tetapi melalui para kepala kejaksaan pengadilan setempat yang bertanggung jawab kepada Cianbucoo.
Pada awal masa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, kedudukan Kejaksaan RI mengalami perkembangan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, tepatnya pada 19 Agustus 1945, rapat PPKI memutuskan bahwa kedudukan kejaksaan berada di dalam lingkungan Departemen Kehakiman. Perubahan besar terjadi ketika presiden Soekarno membacakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Konsekuensi dari perubahan politik yang terjadi adalah Presiden menata ulang lembaga-lembaga dan institusi pemerintahan dengan keadaan yang baru. Setahun setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden, pemerintah dan DPR menerbitkan UU Kejaksaan yang pertama dalam sejarah negara kita, yakni UU No. 15 Tahun 1961 tentang Pokok-Pokok Kejaksaan RI. Di dalam undang-undang tersebut, disebutkan bahwa kejaksaan merupakan alat negara penegak hukum dan alat revolusi yang tugasnya sebagai penuntut umum.
Perubahan besar berikutnya yang terjadi setelah dikeluarkannya UU Kejaksaan ini adalah kejaksaan disebut sebagai Departemen Kejaksaan yang diselenggarakan oleh menteri. Berdasarkan hal tersebut maka pengangkatan Jaksa Agung tidak lagi melalui Menteri Kehakiman melainkan langsung diangkat oleh presiden. Ini karena kedudukan Jaksa Agung di sini adalah sebagai anggota kabinet yang bertanggung jawab secara langsung kepada presiden.
Perubahan pada lembaga kejaksaan juga terjadi ketika kekuasaan Presiden Soekarno beralih kepada Presiden Soeharto. Walaupun UU No. 15 Tahun 1961 terus berlaku hingga 1991, namun dalam praktiknya Kejaksaan Agung tidak lagi disebut sebagai Departemen Kejaksaan dan Jaksa Agung tidak lagi disebut sebagai Menteri Jaksa Agung. Institusi ini disebut sebagai Kejaksaan Agung yang dipimpin oleh seorang Jaksa Agung dan kewenangan untuk pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung tetap ada di tangan presiden. Walaupun Jaksa Agung tidak lagi disebut menteri namun kedudukannya tetap sejajar dengan menteri negara dan pada periode ini mulai muncul suatu konvensi ketatanegaraan, yakni Jaksa Agung selalu diangkat di awal kabinet dan berakhir masa jabatannya dengan berakhir masa bakti kabinet tersebut.
Perubahan berikutnya terjadi setelah diterbitkan UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. UU No. 5 Tahun 1991 menyebut bahwa kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dalam tatanan susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum dan keadilan. Dari konsideran ini terdapat perubahan penting, yaitu terdapat penegasan terhadap pandangan kedudukan institusi kejaksaan yang sebelumnya dikatakan sebagai alat negara. Namun setelah undang-undang ini berlaku, institusi kejaksaan berubah menjadi lembaga pemerintahan.
UU No. 5 Tahun 1991 ini terus berlaku hingga negara Indonesia memasuki era reformasi. Dalam pandangan Yusril Ihza Mahendra, saat terjadinya proses pembentukan UU Kejaksaan yang baru, banyak dari kalangan akademisi dan aktivis LSM berkeinginan agar lembaga-lembaga penegak hukum menjadi independen sehingga banyak wacana yang berkembang untuk memisahkan institusi kejaksaan agar keluar dari ranah eksekutif. Mereka berpendapat sudah seharusnya institusi kejaksaan ditempatkan ke dalam ranah yudikatif dengan dasar Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945. DPR dalam proses pembuatan undang-undang ini juga ingin kejaksaan bisa bekerja secara independen. Namun, pemerintah sebaliknya berkeinginan mempertahankan kedudukan kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Kekuasaan negara di bidang penuntutan dilakukan secara independen dalam tata susunan kekuasaan badan penegak hukum dan keadilan. Setelah proses tarik-ulur terjadi di dalam pembahasan RUU tersebut akhirnya DPR menarik usulan mereka tentang Jaksa Agung yang independen dan akhirnya disepakati Jaksa Agung tetaplah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Ini karena dalam sistem presidensial, Kejaksaan Agung memang berada di bawah ranah eksekutif, dengan demikian menjadi kewenangan presiden untuk mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung.
Pada 26 Juli 2004 pemerintah menerbitkan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia untuk menggantikan UU No. 5 Tahun 1991. Salah satu pertimbangan pemberlakuan regulasi ini adalah bahwa untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun. Kehadiran undang-undang ini disambut gembira banyak pihak lantaran dianggap sebagai peneguhan eksistensi kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, maupun pihak lainnya.
Dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada Pasal 2 Ayat (1) ditegaskan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Di samping sebagai penyandang dominus litis, kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Karena itulah, UU Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.
Mengacu pada undang-undang tersebut, maka pelaksanaan kekuasaan negara yang diemban oleh Kejaksaan Republik Indonesia, harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 Ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004 bahwa kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara bidang penuntutan secara merdeka. Artinya bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, kejaksaan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas dan profesionalitasnya.
Perubahan regulasi yang mengatur tentang lembaga Kejaksaan kembali dilakukan pada 31 Desember 2021 dengan diterbitkannya UU No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Salah satu pertimbangan diberlakukannya undang-undang ini adalah untuk menjamin kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia dalam melaksanakan kekuasaan negara, terutama di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Kejaksaan Republik Indonesia harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun. Di samping itu, ketentuan mengenai Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagian sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum.
Adanya perkembangan kebutuhan hukum yang melatarbelakangi perubahan undang-undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia, termasuk beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang memengaruhi pelaksanaan tugas dan fungsi kejaksaan, seperti Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6-13-20/PUU/VIII tanggal 13 Oktober 2010 yang membuat kewenangan jaksa untuk menarik barang cetakan dalam rangka pengawasan harus dilakukan melalui pengujian di sidang pengadilan.
Kewenangan jaksa dalam melaksanakan diskresi penuntutan (prosecutorial disqetionary atau opportuniteit beginselen) yang dilakukan dengan mempertimbangkan kearifan lokal dan nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Kewenangan ini memiliki arti penting dalam rangka mengakomodasi perkembangan kebutuhan hukum dan rasa keadilan di masyarakat yang menuntut adanya perubahan paradigma penegakan hukum dari semata-mata mewujudkan keadilan retributif (pembalasan) menjadi keadilan restoratif. Untuk itu, keberhasilan tugas kejaksaan dalam melaksanakan penuntutan tidak hanya diukur dari banyaknya perkara yang dilimpahkan ke pengadilan, termasuk juga penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal sebagai implementasi dari keadilan restoratif yang menyeimbangkan antara kepastian hukum yang adil dan kemanfaatan.
Selaras dengan komitmen Indonesia dalam memajukan kerja sama internasional di bidang penegakan hukum melalui ratifikasi United Nations Against Transnational Organized Crime (UNTOC) dan United Nations Conuentions Against Corruption (UNCAC), terdapat beberapa ketentuan dalam konvensi tersebut yang memengaruhi kewenangan, tugas, dan fungsi kejaksaan. Pada 2014, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan International Association of Prosecutors (IAP) juga telah menerbitkan pedoman tentang status dan peran penuntut umum (The Status and Role of Prosecutors) sebagai implementasi dari United Nations Guidelines on The Role of Prosecutors tahun 1990 yang mendorong penguatan kelembagaan kejaksaan, khususnya terkait independensi dalam penuntutan, akuntabilitas penanganan perkara, standar profesionalitas, dan perlindungan bagi para jaksa.

Argentina M. Sinaga, S.H.
View Profil
Dr. Christian Orchard Perangin angin, S.H., M.Kn., CLA.
View Profil
Dr. M. Iqbal Asnawi, S.H., M.H.
View Profil
Dr. Prima Idwan Mariza, S.H., M.Hum.
View Profil
Mila Suvia, S.H.
View Profil

RECOMMENDED FOR YOU Explore More